Borneo:
Menyingkap gua prasejarah
Catatan kedua penulis ini mengenai gua di Kalimantan—mereka menyebutnya Bornéo—merupakan kesaksian atas suatu petualangan luar biasa. Mereka menceritakan temuan hebat suatu gambar-cadas (garca) berusia lebih dari 10.000 tahun yang menjelaskan bagaimana manusia menempati wilayah antara Asia dan Australia.
Sejak 1988, misi demi misi mencoba menggambarkan profil berbagai populasi tua Kalimantan yang sangat mungkin serumpun dengan kaum Aborigin di Australia dan hubungan khusus yang mereka jalin dengan gua dengan menciptakan garca yang berciri sejumlah besar tangan negatif. Terhitung hampir 2.000 gambar yang mendorong mereka untuk mengusulkan penafsiran baru tentang corak universal itu.
Karya ini yang diberi ilustrasi begitu indah m enyajikan kekayaan, kompleksitas, dan kekunoan di bagian dunia itu yang sekarang terancam lingkungannya.
Fotografer, wartawan, ilustrator, sutradara film dokumenter, dan penjelajah. Kegemarannya bertualang—sering kali dengan kamera dalam genggaman—telah membawanya berakit-rakit di sepanjang Sungai Zaire, menjelajahi untuk kedua kalinya Pulau Papua dari selatan ke utara, dan berperan serta dalam berbagai ekspedisi speleologis di Aljazair, Papua Nugini, dan baru-baru ini di Patagonia, Cile. Awalnya adalah tahun 1989, ketika menjelajahi Pulau Kalimantan dari timur ke barat, ia sangat tertarik pada sebuah gua bergambar gambar arang. Maka, pada 1992, rombongannya yang didampingi etno-arkeolog Jean-Michel Chazine memulai penjelajahan panjang.
Jean-Michel Chazine
Etno-arkeolog CNRS (Pusat Penelitian Ilmu Prancis), anggota CREDO (Pusat Penelitian dan Dokumentasi Oseania). Insinyur di bidang fisika-metalografi ini akhirnya menekuni etno-arkeologi setelah melakukan penelitian tentang bangsa-bangsa pertama yang menghuni atol Tahiti dan Tuamotu, Polinesia Prancis. Perjumpaannya dengan Luc-Henri Fage menyeretnya ke luar dari Oseania untuk merintis penyelidikan di jantung Kalimantan yang ternyata belum pernah disentuh penelitian arkeologis.
Pindi Setiawan
Peneliti Komunikasi-Visual, FSRD-Institut Teknologi Bandung, fokus pada penelaahan komunikasi manusia yang nirleka, dari tradisi sampai masa prasejarah. Ia juga petualang alam bebas. Tahun 1991, mulai meneliti gambar-cadas prasejarah di Maluku, Papua pantai-barat dan Sulawesi. Sejak itu, ia lebih dikenal sebagai peneliti gambar-cadas Indonesia. Tahun 1995 diajak Jean-Michel Chazine dan Luc Henri Fage mencari goa-goa bergambar yang ‘hilang’ di pegunungan karst Sangkulirang, dan dimulailah petualangan ilmiahnya di kawasan karst raksasa yang spektakuler ini.
Jean Clottes
Jean Clottes, salah satu penulis prakata pada buku ini adalah spesialis peneliti seni pada gua zaman prasejarah dan Paleolitikum (Batu Tua). Ia juga pernah menjadi curator Departemen Warisan Budaya dimana ia sekaligu penasihat akademik pada seni prasejarah. Clottes juga bertanggung jawab atas studi penelitian Gua Chauvet dan Cosquer. Selain itu, ia diakui sebagai ahli internasional dari ICOMOS dan UNESCO serta pengarang sejumlah buku tentang seni batuan di dunia.
Ekstrak dari pendahuluan oleh Jean Clottes
Hanya sedikit speleolog, dan bahkan jarang arkeolog, yang mujur dalam hidup mereka sempat menemukan sebuah gua bergambar-prasejarah. Keberuntungan tentu saja didahului kerja keras dan terencana, disertai pengalaman. Namun, adakalanya kerja keras itu akhirnya mendapat imbalan atau sia-sia. Luc-Henri Fage dan Jean-Michel Chazine adalah peneliti yang beruntung telah mengalami momentum luar biasa itu. Namun, yang istimewa dalam petualangan itu adalah mereka tidak hanya meneliti satu gua bergambar. Temuannya memang berlipat ganda sebelum dan setelah 1998, masa “panen” mereka. Mereka telah menemukan satu daerah secara menyeluruh yang menyimpan begitu banyak gua bergambar.
Sebelum penelitian mereka di Kalimantan, sesungguhnya tidak ada yang mengetahui keberadaan suatu seni cadas di daerah terpencil itu. Menara pegunungan karst itu sendiri spektakuler dan dilindungi oleh keterpencilan dalam hutan lebat. Penduduknya, yang hidup dari sarang burung, sumber alam yang begitu kaya, sangat mencurigai pendatang. Dengan kata lain, kedua peneliti itu harus menghadapi segala hambatan, mulai dari perizinan hingga penjelajahan di dalam rimba raya itu. Mereka harus mendaki cadas terjal, yang sering membahayakan, terkadang harus menggunakan sulur tumbuhan, sebelum mencapai ceruk tertinggi yang bergambar tangan negatif.
Tera-tangan negatif Kalimantan, yang begitu banyak dan orisinal berikut corak dalamnya, sekarang termasyhur, paling tidak di kalangan pakar. Garca itu menjadi bagian dari perwujudan paling misterius dan paling mengagumkan yang pernah dikenal. (...
Karya Luc-Henri Fage dan Jean-Michel Chazine, yang diberi ilustrasi mewah berupa foto sangat indah, menyajikan suatu alam yang tidak dikenal sampai kini. Mereka mengisahkan cerita prasejarah yang menakjubkan, dengan bobot keilmuan yang tinggi dari data yang sahih, dilengkapi dengan kaji-banding berbagai tema dan teknik, serta penelitian tentang jenis kelamin para pencipta telapak. Semua itu membuat kita dapat membayangkannya.
Benar-benar suatu warisan budaya yang hebat, layak menjadi tradisi seni yang termasyhur. Jelas warisan itu patut dilindungi, begitu pula lingkungan sekitarnya yang rentan. Buku yang memperkenalkan warisan budaya ini merupakan sumbangsih bagi perlindungan dan pelestariannya, suatu hal yang selalu kita harapkan.
Jean Clottes
ahli prasejarah,
Konservator Emeritus Warisan Budaya